KENDARI, – Isu primordialisme yang kembali mencuat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Sulawesi Tenggara (Sultra) menuai kritik dari berbagai kalangan.
Salah satunya adalah Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Halu Oleo (UHO), Muhammad Aswan Zanynu, yang menilai bahwa penggunaan isu ini tidak akan membawa kemajuan nyata bagi masyarakat.
Hal itu disampaikan Muhammad Aswan Zanynu, di sela kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih pada pilkada serentak tahun 2024 di Sulawesi Tenggara (Sultra) beberapa waktu lalu.
Dalam pandangan Zanynu, primordialisme bukan hanya menjadi masalah di Sulawesi Tenggara, melainkan juga di banyak daerah yang sedang berkembang. “Pada akhirnya, yang lebih urgen dan bermanfaat bagi masyarakat adalah fokus pada hal-hal yang bisa membawa kemajuan nyata, bukan sekadar berlarut-larut pada isu primordialisme,” ungkapnya beberapa waktu lalu.
Menurutnya, visi yang seharusnya dijalankan adalah mengembangkan, membesarkan, dan mengokohkan fondasi transformasi di Sulawesi Tenggara. Jika ada sesuatu yang menghalangi pencapaian tersebut—entah itu primordialisme atau faktor lainnya—itu seharusnya tidak menjadi pertimbangan utama dalam memilih calon pemimpin.
Zanynu juga menyoroti bahwa banyak tokoh elit politik yang kini memainkan isu primordialisme sebagai strategi kampanye menjelang Pilkada 2024. Meski demikian, ia menegaskan bahwa sebagai pemilih, masyarakat harus lebih cerdas.
“Jika kita memilih hanya berdasarkan pertimbangan primordial, kita akan lebih buruk daripada masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, etnisme kita sangat kuat. Tetapi para pendiri bangsa berhasil membawa kita merdeka karena mereka melepaskan identitas primordial mereka,” jelasnya.
Zanynu mengingatkan contoh sejarah penting seperti berdirinya organisasi Budi Utomo yang didirikan oleh para priyayi Jawa, yang meskipun berasal dari latar belakang etnis yang sama, tidak menggunakan identitas etnis mereka dalam perjuangan untuk kemerdekaan.
Begitu pula dengan Perhimpunan Indonesia yang menggabungkan elit dari berbagai latar belakang budaya. Mereka melepas atribut primordialisme demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Lebih lanjut, Zanynu mengingatkan bahwa jika politik primordialisme dibiarkan berkembang, masyarakat akan terjebak dalam pola pikir sempit yang fokus pada identitas etnis masing-masing. Padahal, yang diinginkan adalah Sulawesi Tenggara yang maju, inklusif, dan siap bersaing di kancah global.
“Visi pembangunan Indonesia 2045 menekankan pentingnya inklusivitas—di mana semua pihak, semua etnis, dan semua lapisan masyarakat bisa terlibat. Jika kita tidak mengedepankan cara berpikir inklusif, kita akan tertinggal jauh dari daerah-daerah lain yang lebih dulu menerapkan pemikiran seperti itu,” ungkapnya.
Skenario terburuk, menurut Zanynu, adalah terjadinya instabilitas politik dan sosial yang hanya akan merugikan kemajuan daerah. Ketegangan politik yang dipicu oleh primordialisme dapat memicu demo atau pertentangan yang tidak produktif.
“Sementara, kita menghadapi tantangan besar ke depan, yaitu pembangunan yang harus terus berjalan. Kita tidak boleh lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak konstruktif,” tegasnya.
Sebagai seorang akademisi, Zanynu berharap agar Sulawesi Tenggara bisa menjadi provinsi yang lebih inklusif dan menerima keberagaman sebanyak mungkin.
“Kita ingin daerah ini menjadi lebih terbuka, terhubung dengan dunia luar, dan berkembang pesat. Dengan pola pikir inklusif, potensi kita untuk maju akan jauh lebih besar daripada sekadar mempertahankan cara berpikir primordialisme yang sempit,” pungkasnya.
Pada akhirnya, Zanynu menekankan bahwa isu primordialisme seharusnya sudah selesai dalam mekanisme demokrasi. “Itu harus dianggap sebagai masa lalu, dan fokus kita sekarang adalah pada pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan bagi kemajuan Sulawesi Tenggara.”. (red)