Sulawesi Tengah – Rentetan bencana alam terus mengguncang berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tengah. Setelah banjir bandang menerjang Kabupaten Morowali, kini giliran Dusun Towi, Desa Tamunesi, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali Utara, yang dilanda musibah serupa. Peristiwa tragis ini menelan satu korban jiwa di kamp perusahaan tambang nikel CV Surya Amindo Perkasa (SAP).
Banjir tersebut diduga dipicu jebolnya penampungan air milik perusahaan tambang CV Putri Perdana yang berada di lokasi lebih tinggi. Air bah meluluhlantakkan kamp perusahaan SAP, merusak berbagai peralatan, dan meninggalkan jejak kehancuran yang mendalam.
Koordinator Inspektur Tambang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) perwakilan Sulawesi Tengah, Muhammad Saleh, menyatakan pihaknya tengah mendalami penyebab banjir bandang ini. “Kami sedang investigasi kejadiannya, baru mulai kemarin sore (5/1). Mungkin selama seminggu kami masih mencari tahu persis penyebabnya. Setelah investigasi baru kami sampaikan detail,” ujarnya.
Namun, desakan untuk bertindak lebih tegas datang dari berbagai pihak. Jabar Lahadji dari Yayasan Sahabat Morowali menyoroti dampak negatif perluasan tambang yang menyebabkan deforestasi dan degradasi lingkungan. Ia menuding perubahan status lahan dari hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas (HPT) sebagai akar masalah utama.
“Pembukaan lahan tak terkendali di daerah dengan kemiringan lereng lebih dari 40 derajat menyebabkan perubahan bentang alam, alur sungai, hingga penumpukan air hujan. Akibatnya, risiko banjir dan longsor semakin tinggi,” tegas Jabar.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah juga angkat suara. Mereka mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi serta menghentikan sementara aktivitas pertambangan nikel di Morowali dan Morowali Utara. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, kerusakan lingkungan akibat tambang telah merusak ekosistem hutan yang berfungsi sebagai penyangga ekologis.
“Jika tidak segera dihentikan, bencana serupa bahkan yang lebih besar sangat mungkin terjadi,” ujar Sunardi dalam keterangan resminya.
Organisasi ini juga mengkritik kebijakan hilirisasi nikel pemerintah yang dinilai mengorbankan kawasan hutan dan masyarakat sekitar. Desa Tamunesi, yang pernah mengalami bencana serupa, kini menghadapi ancaman yang lebih besar akibat aktivitas tambang yang masif sejak 2018.
Muhammad Taufik, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, mempertanyakan perubahan tata ruang wilayah yang mengalihkan zona penyangga menjadi area tambang. “Zona penyangga dan daerah rawan bencana yang sebelumnya dilindungi kini justru dieksploitasi untuk tambang nikel,” ungkapnya.
Jatam mendesak Polda Sulawesi Tengah untuk segera mengusut seluruh perusahaan tambang nikel di wilayah tersebut. “Jika ditemukan pelanggaran, perusahaan harus dijerat hukum,” tambah Taufik.
Morowali Utara kini menghadapi masa depan suram akibat lemahnya penegakan hukum lingkungan. Meskipun inspektur tambang rutin turun ke lapangan, tindakan tegas berupa penghentian operasi tambang hampir tidak pernah terjadi.
“Paling hanya teguran, tidak ada langkah konkret untuk menghentikan pelanggaran,” kritik Jabar Lahadji.
Bencana ekologis ini menjadi alarm bagi semua pihak untuk lebih serius dalam melindungi lingkungan. Apabila pembukaan lahan dan eksploitasi tambang terus dibiarkan, bukan hanya Morowali Utara yang terancam, tetapi juga masa depan generasi mendatang. (red)