Jakarta – Skandal dugaan manipulasi impor bahan bakar minyak (BBM) yang melibatkan petinggi PT Pertamina Patra Niaga telah mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun.
Rakyat harus membayar lebih mahal untuk BBM akibat praktik oplosan yang dilakukan oleh sejumlah tersangka.
Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus ini, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.
Mereka diduga melakukan rekayasa impor BBM RON 90 yang kemudian dioplos menjadi RON 92 dan dijual dengan harga Pertamax.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa praktik ini terjadi dalam periode 2018-2023.
Padahal, sesuai regulasi, Pertamina seharusnya mengutamakan pasokan minyak dalam negeri sebelum memutuskan untuk mengimpor.
“Mereka menurunkan produksi kilang dalam negeri agar kebutuhan BBM harus dipenuhi dengan impor. Namun, dalam proses impor, terjadi pemufakatan jahat yang merugikan negara,” ujar Qohar, Senin (26/2).
Selain manipulasi impor, Kejaksaan Agung juga menemukan adanya markup dalam kontrak pengiriman minyak mentah dan produk kilang.
Keuntungan dari selisih harga impor ini dinikmati oleh sejumlah tersangka dari pihak swasta.
Akibat praktik ini, harga BBM yang dijual ke masyarakat menjadi lebih mahal. Selain itu, penggelembungan biaya impor dijadikan dasar dalam penetapan subsidi dan kompensasi BBM oleh pemerintah setiap tahun, yang pada akhirnya turut membebani APBN.
“Tindakan mereka tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merugikan masyarakat yang terpaksa membayar lebih mahal untuk BBM yang dikonsumsinya,” ujar Qohar.
Kasus ini masih dalam proses penyidikan lebih lanjut. Kejaksaan Agung memastikan akan menelusuri aliran dana hasil korupsi ini dan menindak tegas seluruh pihak yang terlibat. (Red)