Kutai Timur – Konflik mengenai kepemilikan tanah ulayat di Kabupaten Kutai Timur kembali mencuat, kali ini dengan dugaan pemalsuan dokumen yang melibatkan sejumlah pihak. Kasus ini terkait dengan tanah ulayat milik Ahmad Embun, yang diduga telah dipalsukan dokumennya demi menguasai lahan seluas ratusan hektar.
Kuasa hukum dari pemilik tanah yang sah, H. Nainuri Suhadi, SH., M.Hum, yang mewakili M. Zaki, H. Bahrani, dan Maslianyah, mengungkapkan bahwa sejumlah dokumen yang dipergunakan dalam proses kepemilikan tanah tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah. Nainuri menjelaskan bahwa ada sejumlah kejanggalan dalam pembuatan dokumen yang diduga fiktif ini.
Dokumen-dokumen yang dipermasalahkan antara lain:
- Surat Pernyataan Penguasaan Tanah Perwatasan Ulayat Keluarga Ahmad Embun tertanggal 2 Desember 1990, yang menyebutkan luasan 1.000 hektar (dokumen ini dinyatakan tidak bermasalah dan tidak palsu).
- Berita Acara Pembentukan Kelompok Tani Rukun Sejahtera tertanggal 28 September 1997, yang menggunakan kop surat Kutai Timur Kecamatan Bengalon, padahal Kutai Timur baru resmi terbentuk berdasarkan UU No. 47 Tahun 1999.
- Surat Pernyataan Pelimpahan Hak Atas Tanah tertanggal 27 Maret 2017, yang disebut melimpahkan 645 hektar tanah kepada Darwis, meskipun Surat Pernyataan Pemilikan Tanah Ulayat Ahmad Embun telah dinyatakan tidak berlaku.
- Berita Acara Identifikasi dan Inventarisasi Nomor 196/IDIPT/Sepaso Selatan/IX/2018 tertanggal 10 September 2018, yang menjadi dasar penerbitan Akte Pelepasan Hak atas Tanah No. 43 tanggal 28 Oktober 2018.
- SKUMHAT An. Darwis tertanggal 28 November 2018 dengan luas 635 hektar, yang diduga kuat tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Nainuri Suhadi menekankan bahwa ada ketidakkonsistenan klaim kepemilikan tanah ini, terutama mengingat Surat Kesepakatan tanggal 9 Desember 2010 dan 29 Februari 2012 yang menyatakan bahwa tanah ulayat Ahmad Embun seluas 1.000 hektar telah dicabut dan tidak berlaku lagi. Kedua surat kesepakatan ini, yang berisi pencabutan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Ulayat 1990, menjadi dasar hukum yang sah bahwa tanah ulayat tersebut sudah tidak berlaku.
Namun, yang lebih mencurigakan adalah kenyataan bahwa meskipun tanah ulayat telah dicabut dan SPPT 1990 telah dicabut, pada tahun 2017 justru diterbitkan Surat Pelimpahan Hak yang melimpahkan tanah ulayat dari M. Haidy ke Darwis. Bahkan pada tahun 2018, dibuatlah SKUMHAT atas nama Darwis, meskipun tanah tersebut sudah tidak sah lagi. Pada tahun yang sama, PT KPC juga dilaporkan telah membayar 55 milyar rupiah kepada oknum yang terlibat dalam rekayasa dokumen ini, meskipun tanah tersebut sudah tidak sah lagi. Ini menambah dugaan kuat adanya mafia tanah yang terlibat.
Selain pemalsuan dokumen tanah, pemalsuan juga diduga terjadi pada dokumen waris dan pelepasan hak tanah. Dalam kasus ini, dua nama, Rahman dan Hanisah, disebut sebagai ahli waris Ahmad Embun dalam Surat Keterangan Waris dan SKUMHAT yang dibuat tahun 2010. Namun, klaim ini bertentangan dengan Surat Wasilah Ahli Waris Ahmad Embun yang asli, tertanggal 29 Desember 2010, yang menyebutkan bahwa satu-satunya anak yang masih hidup adalah Hamisah.
“Ini bukan sekadar sengketa tanah biasa. Ada indikasi kuat permainan mafia tanah yang mencoba menguasai lahan dengan memanipulasi dokumen dan menyalahgunakan administrasi pertanahan,” tegas Nainuri Suhadi.
Tim kuasa hukum telah mengajukan berbagai bukti untuk mendukung dugaan pemalsuan ini, termasuk Surat Wasilah Ahli Waris Ahmad Embun tertanggal 21 Oktober 2024, yang memperlihatkan keabsahan ahli waris yang sebenarnya. Mereka mendesak agar aparat penegak hukum segera bertindak tegas untuk mengusut tuntas kasus ini.
“Kami mendesak pihak berwenang, baik kepolisian maupun instansi terkait, untuk mengusut dugaan pemalsuan dokumen ini dan menindak tegas para pelaku yang terlibat,” ujar Nainuri.
Kasus ini kini sedang dalam tahap penyelidikan, dan jika terbukti ada unsur pemalsuan, pihak yang terlibat dapat dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, yang ancaman hukumannya mencapai enam tahun penjara.
Kasus tanah ulayat Ahmad Embun ini menjadi contoh nyata bagaimana mafia tanah beroperasi, dengan memanipulasi administrasi dan memalsukan dokumen hukum demi menguasai lahan. Publik kini menantikan langkah tegas dari aparat penegak hukum untuk mengungkap pelaku dan memastikan kasus serupa tidak terulang di masa mendatang. (red)
Related posts:
- Kontroversi Amplop Putih di Kasus Pemukulan Murid di Konawe Selatan
- Sulkarnain Kadir dan Syarif Maulana Terbukti Bersalah dalam Kasus Korupsi Perizinan PT MUI
- Polres Kolaka Utara Ungkap Kasus Perampokan Palsu yang Menghebohkan Masyarakat
- Kios Dibobol Maling saat Pilkada, Warga Kendari Rugi Puluhan Juta Rupiah