JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Kali ini, dua direktur PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya dan Edward Corne, diduga terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan negara hingga Rp1 kuadriliun.
Penetapan tersangka ini menambah daftar panjang kasus korupsi di sektor energi. Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Maya Kusmaya, yang menjabat sebagai Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga, diduga kuat memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne, selaku VP Trading Operations, untuk melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 dengan harga RON 92.
Praktik ini, yang disetujui oleh Riva Siahaan, menyebabkan kerugian negara yang signifikan. Pembelian yang tidak sesuai dengan spesifikasi ini dinilai menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak memenuhi kualitas barang. Selain itu, Maya Kusmaya juga diduga memerintahkan Edward Corne untuk melakukan blending produk agar menghasilkan RON 92 di terminal PT Orbit Terminal Merak.
Proses blending ini melibatkan Muhammad Kerry Andrianto Riza dan Gading Ramadhan Joedo, yang memiliki jabatan di PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak.
Selama proses penyelidikan, Maya Kusmaya dan Edward Corne juga diduga menyetujui adanya mark up dalam kontrak pengiriman (shipping) yang dilakukan oleh Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Akibatnya, PT Pertamina Patra Niaga harus mengeluarkan fee 13-15% yang dinilai melanggar hukum.
Praktik-praktik korupsi ini berdampak pada mahalnya harga dasar acuan penetapan Harga Index Pasar (HIP) BBM. Pasalnya, kebutuhan minyak dalam negeri banyak diperoleh dari produk impor secara ilegal. Kejagung mengungkap dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan KKKS yang menyebabkan kerugian besar.
Pada tahun 2023, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun. Kerugian ini bersumber dari lima komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 sekitar Rp126 triliun, dan kerugian pemberian subsidi tahun 2023 sekitar Rp21 triliun.
Jika pola korupsi ini terjadi sejak tahun 2018, total kerugian negara diperkirakan bisa mencapai Rp1 kuadriliun. Kuadriliun adalah bilangan di atas triliun, yang setara dengan 1.000 triliun atau 1.000.000.000.000.000 (15 nol). Indonesia menganut sistem skala pendek (short scale) untuk bilangan triliun ke atas. (red)