SULTRA PERDETIK, – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) perusahaan tambang mineral dan batu bara berlaku hingga tiga tahun, dari yang selama ini satu tahun.
Perubahan ini berkaitan dengan langkah Kejaksaan yang menetapkan sejumlah tersangka antara lain mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM berinisial RD yang terseret kasus dugaan korupsi berkenaan dengan penetapan RKAB. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan RKAB tersebut berlaku untuk perusahaan tambang yang memasuki fase produksi.
Dia menegaskan pemberlakuan ketentuan baru ini mulai tahun depan. “RKAB yang tadinya tiap tahun untuk produksi sekarang kita berikan 3 tahun,” kata Arifin di Jakarta, Kamis (31/08/2023).
Arifin menuturkan, penataan lainnya dengan menerapkan teknologi informasi dalam proses pengesahan RKAB tersebut. Upaya ini diharapkan mampu mempercepat pengesahan RKAB serta transparan.
Dia menyebut penyempurnaan teknologi informasi terus dikebut lantarn ditargetkan mulai diterapkan pada tahun depan. Dikatakan, Kementerian ESDM menangani 6.000 pengajuan RKAB setiap tahunnya pasca penetapan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Beleid itu membuat kewenangan pemerintah daerah dialihkan ke pemerintah pusat dalam pengesahan RKAB. Arifin menyebut Kementerian ESDM telah berusaha mempercepat proses dengan melakukan simplifikasi persyaratan.
“Dilakukan simplifikasi dari 27 persyaratan itu sudah kita pilah menjadi 5,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menuturkan komplekasitas mengelola industri pertambangan saat ini sangat berat dihadapi sebatas menjadi tanggung jawab semata oleh Kementerian ESDM. Kehadiran hukum dan kebijakan dalam mengintegrasikan dan mengkoordiasikan kepentingan-kepentingan, baik Pemerintah, Korporasi dan Rakyat, justru sering kali memunculkan benturan kepentingan itu sendiri.
Masalah hukum yang harus dihadapi oleh berbagai pejabat di berbagai ekselon Kementerian ESDM, memperjelas dan menunjukkan bahwa mengelola industri pertambangan dalam ruang politik ini menjadi sangat kompleks.
Mempercepat dan mempermudah sebuah kebijakan untuk mengelola berbagai kepentingan dalam industri pertambangan, justru dapat menjadi potensi pelanggaran hukum bagi pejabat bersangkutan di kemudian hari.
“Jika kondisi ini diabaikan, tanpa perbaikan substansi maka IMEF memperkirakan akan terjadi perlambatan investasi di sektor pertambangan yang berdampak pada penurunan pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pembangunan, serta pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun mendatang,” ujarnya.
Singgih menuturkan RKAB ditetapkan tiga tahun merupakan langkah yang tepat. Dari sisi korporasi dapat menghitung investasi dan pengembalian (return) lebuh terukur. Hal ini berlaku bagi perusahaan pertambangan maupun perusahaan jasa pertambangan. Sedangkan bagi pemerintah,dapat mengoptimalkan pengelolaan produksi nasional dalam konteks pasar ekspor dan dalam negeri.
Namun Singgih mengingatkan pemerintah dalam menetapkan produksi nasional semestinya mempertimbangkan terlebih dahulu peta potensi pasar komoditas, khususnya batu bara. Dengan mempertimbangkan parameter pasar, kapasitas produksi, kondisi geologi dan tambang serta aspek lingkungan, menjadi dasar pemberian RKAB.
“Integrasi dari berbagai parameter yaang saat ini dikelola pemerintah pusat justru akan dapat lebih optimal dalam mengelola sumber daya alam dalam menjaga keseimbangan pasar ekspor, kebutuhan DMO,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menuturkan pihaknya tidak mengusulkan secara resmi terkait pengesahan RKAB per tiga tahun. APBI menunggu lebih lanjut kebijakan teranyar yang dibuat Kementerian ESDM.
“Kami menunggu kebijakan lebih lanjut dari Pemerintah, termasuk jika nanti RKAB 3 tahun, apakah usulan perubahan dapat dilakukan setiap tahun atau seperti apa,” tuturnya. (Investor)