Pakar Forensik: Gregorius Tannur patut dijerat Pasal 338 

Pakar  Forensik: Gregorius Tannur patut dijerat Pasal 338 

Jakarta –

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengupayakan penyidik Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya menerapkan Pasal 338 terhadap Gregorius Ronald Tannur (GRT) yang digunakan hal itu ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan berat yang mana dimaksud mengakibatkan kematian Dini Sera Afrianti (DSA).

 

"Polrestabes Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan Pasal 338 KUHP," kata Reza dalam keterangan yang dimaksud diterima ANTARA dalam area Jakarta, Sabtu.

 

Bacaan Lainnya
Ia menjelaskan, bila mencermati rangkaian kronologis perilaku kekerasan yang tersebut itu dijalani GRT kepada korban DSA sangat bengis juga bereskalasi.

 

Reza memaparkan, dari urutan kronologis tersebut, terindikasi bahwa perilaku kekerasan GRT bereskalasi. Dari menyasar organ tubuh bagian bawah (kaki) ke organ tubuh bagian atas (kepala).

 

"Dari sebatas tangan kosong ke pemakaian alat yang tersebut bukan perlu dimanipulasi (botol), dan juga juga berlanjut ke penyelenggaraan alat yang mana mana perlu dimanipulasi (mobil)," katanya memaparkan.

 

Menurut dia, eskalasi kekerasan sedemikian rupa, ditambah lagi akibat bukan ada yang dimaksud mana meleset dari organ vital korban serta terdapat jeda antara menabrak dan juga juga episode kekerasan sebelumnya, yang mana digunakan mengindikasikan GRT sebenarnya berada dalam tingkat kesadaran yang memadai baginya untuk meredam atau bahkan menghentikan perbuatannya.

 

Namun, lanjut dia, alih-alih menghentikan tindakannya, dalam kondisi kesadaran yang disebut GRT justru menaikkan intensitas kekerasan terhadap sasaran.

 

Reza menilai hal itu menjadi penanda bahwa GRT sengaja tiada ada memfungsikan kontrol dirinya untuk menahan atau bahkan menghentikan serangan.

 

"Tapi justru memfungsikan kontrol dirinya untuk meneruskan lalu bahkan memperberat perilaku kekerasannya," papar Reza.

 

Kemudian, lanjut dia, dengan kondisi kesadaran serta aktivasi kontrol sedemikian rupa, patut diduga bahwa GRT pun mampu untuk sampai pada pemikiran bahwa ia akan melakukan perbuatan yang digunakan dimaksud dapat menewaskan korban. Dengan kata lain, diperkirakan bahwa pada waktu itu di dalam tempat kepala GRT sudah muncul pemikiran atau imajinasi tentang kematian korban.

 

"Pada momen ketika pemikiran atau imajinasi kematian DSA itu muncul dalam benak GRT, maka dapat ditafsirkan lengkap alur perbuatan GRT di dalam area mana perilaku kekerasan bereskalasi lalu disertai dengan imajinasi tentang kematian sasaran," ujarnya.

 

Oleh karenanya, berdasarkan kronologis dalam atas sepatutnya Polrestabes Surabaya mendalami kemungkinan penerapan Pasal 338 KUHP terhadap tersangka.

 

Karena, kalau semata-mata sekadar menerapkan Pasal 351 ayat (3) KUHP kemudian atau Pasal 359 KUHP dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Itu berarti, GRT sebatas ditersangkakan sebagai pelaku penganiayaan lalu atau kelalaian yang dimaksud dimaksud mengakibatkan korbannya meninggal dunia.

 

Untuk menerapkan Pasal 338 itu, kata Reza, yang dimaksud perlu diselidiki oleh penyidik adalah ada tidaknya kontrol diri pada tersangka.

 

"Yang perlu diselidiki adalah ada tidaknya kontrol diri sebagai perwujudan kesadaran GRT," kata Reza.

 

Untuk memastikannya, kata Reza perlu ditemukan pola terjadinya kekerasan, diantaranya pola eskalasi perilaku kekerasan GRT terhadap sasaran (DSA).

 

Selain rentang waktu kekerasan secara keseluruhan, cek pula interval antara episode kekerasan yang mana itu satu juga lainnya. Melakukan pemeriksaan ponsel guna memantapkan ada tidaknya pesan atau komunikasi yang digunakan mana menggenapi eskalasi kekerasan GRT terhadap DSA.

 

"Maaf, periksa apakah DSA dalam keadaan hamil atau kondisi-kondisi fisik lainnya yang mana digunakan mampu menjadi pretext bagi GRT untuk melenyapkan DSA," kata Reza.

 

Selanjutnya, ukur kadar alkohol dalam tubuh GRT. Apakah kadar alkohol hal hal itu berada pada level yang dimaksud digunakan masih memungkinkan dia melakukan kontrol terhadap pikiran juga juga perilakunya sendiri.

 

Sebelumnya, Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya menetapkan Gregorius Ronald Tannur (GR), usia 31 tahun, anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Edward Tannur, sebagai tersangka perkara penganiayaan berat yang dimaksud mengakibatkan kematian.

 

Korbannya adalah Dini Sera Afrianti, janda satu anak, usia 29 tahun, yang mana sudah menjalin hubungan dengan tersangka selama lima bulan terakhir.

Sumber: Antaranews

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *