Jakarta – Akhir-akhir ini Semarang jadi perbincangan sebab suhu di dalam tempat ibu kota provinsi Jawa Tengah ini dilaporkan panas terik. Bahkan suhu di dalam dalam Semarang sempat diberitakan mencapai 38 derajat Celcius.
Lalu apa pemicu cuaca panas dalam Semarang?
Peneliti Klimatologi Pusat Iklim serta juga Atmosfer Badan Riset juga Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menjelaskan, kondisi suhu pada tempat Semarang saat ini adalah efek perubahan iklim.
Menurut Erma, dengan suhu saat ini, menjadikan Semarang sebagai kota besar terpanas dalam area utara Jawa. Dibandingkan dengan suhu dalam Jakarta juga Surabaya, yang mana digunakan posisinya juga sama-sama terletak pada tempat utara Jawa.
“Saya membandingkan 3 kota besar ini dengan asumsi merek dalam kondisi yang digunakan dimaksud sama, tergolong sebagai kota megapolitan kemudian juga mempunyai problem yang mana yang disebut sama. Dari segi jumlah total agregat penduduk, kota berbasis industri kemudian transportasi yang dimaksud mana masif,” kata Erma kepada CNBC Indonesia, Kamis (12/10/2023).
“Dengan asumsi demikian, seharusnya suhu pada Semarang, Surabaya, serta Jakarta ini peningkatannya sama. Tapi ternyata tidak. Ketiga kota ini memiliki respons yang dimaksud dimaksud berbeda terhadap efek perubahan iklim,” jelasnya.
Erma menerangkan, jika dibandingkan suhu bulan Oktober saat ini dengan bulan Oktober 2019, yang dimaksud digunakan sama-sama mengalami fenomena El Nino, suhu pada area kota Semarang terpantau konsisten jadi yang digunakan tertinggi.
Di antara ketiga kota tersebut, suhu maksimum pada dalam Semarang bahkan tercatat melampaui 37 derajat Celcius pada Oktober 2019 lalu. Tepatnya 37,4 derajat Celcius.
“Itu adalah suhu maksimum pada tempat kota Semarang dengan kondisi El Nino. Sementara pada Jakarta serta Surabaya tercatat paling tinggi belaka 35 derajat Celcius,” ujarnya.
“Dan pada Oktober tahun ini, kondisinya sama, ada efek El Nino. Suhu maksimum dalam Semarang tercatat pernah mencapai 37,8 derajat Celcius. Artinya ada peningkatan suhu maksimum. Sedangkan di tempat area 2 kota lainnya tak terjadi,” papar Erma.
Hal itu, kata Erma, menunjukkan efek perubahan iklim pada tempat ketiga kota itu berbeda.
“Ini yang digunakan mau saya garisbawahi. Bahwa meskipun ketiga kita ini berada di tempat area latitude yang digunakan hal tersebut sama, posisi lintang sama, kota dataran rendah dalam utara pulau Jawa, tapi ternyata merespons perubahan iklim dengan problem berbeda. Ini kaitannya juga dengan El Nino ya,” terangnya.
“Respons perubahan iklim dalam Jakarta adalah dengan problem kualitas udara yang digunakan mana menurun. Sudah pasti akibat adanya peningkatan aerosol. Sementara pada tempat Surabaya problemnya adalah kekeringan ekstrem,” pungkas Erma.
Sumber:CNBCIndonesia