Cerita Lahan Warga yang Diduga Dirusak oleh PT Merbau Jaya Indah Raya
SULTRA PERDETIK, – Di satu wilayah di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Desa Laikandonga, Kabupaten Konawe Selatan, terdapat sebidang lahan transmigrasi yang telah lama menjadi tempat tinggal bagi Ujang Uskadiyan. Blok I UPT Arongo adalah potongan bumi yang telah menjadi saksi bisu atas perjuangan keras Ujang dan sesama warga transmigrasi.
Mereka telah bertahun-tahun mengelola dan merawat tanah ini, dengan harapan suatu hari nanti mereka dapat memiliki hak yang sah atas tanah yang mereka panggil sebagai rumah.
Namun, kehidupan mereka tiba-tiba runtuh ketika alat berat milik diduga milik PT Merbau Jaya Indah Raya, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang seringkali menjadi mimpi buruk bagi pemilik lahan kecil, muncul di kejauhan.
Penggusuran ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi, dan rasanya semakin kejam setiap kali terulang.
Tanah yang telah bersertifikat sebagai hasil program redistribusi tanah (Redis) yang dilaksanakan oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menjadi sasaran utama.
Tahun 2021 adalah tahun yang seharusnya membawa harapan bagi Ujang dan rekan-rekannya. Sertifikat nasional mereka secara resmi diberikan oleh Presiden Jokowi dalam sebuah acara di kantor Gubernur Sulawesi Tenggara.
Namun, semua itu terasa sia-sia ketika perusahaan besar seperti PT Merbau Jaya Indah Raya menggusur tanah mereka tanpa ampun.
Usaha dan upaya keras yang telah mereka lakukan selama 12 tahun untuk mempertahankan hak atas tanah ini sepertinya telah berakhir dengan keputusasaan.
Mereka merasa tertindas oleh para penguasa negara yang seharusnya melindungi hak-hak mereka. Pertanyaan yang terus menghantui mereka adalah,
“Apa yang bisa kami lakukan sebagai orang kecil? Mengapa pemangku kebijakan tidak berpihak kepada kami, wong cilik?” keluh Ujang, kepada Sultraperdetik.id, Jumat 8 September 2023.
Saat ini, sudah satu minggu berlalu sejak penggusuran lahan warga transmigrasi oleh PT Merbau Jaya Indah Raya dimulai.
Ujang dan rekan-rekannya hanya bisa meratapi nasib mereka dengan sedih dan penuh putus asa.
Meskipun mereka telah mencoba mengadu ke berbagai pihak, keluhan mereka tampaknya jatuh pada telinga yang tuli.
Pertanyaan yang tak terjawab terus mengganggu pikiran mereka. Mengapa program nasional transmigrasi, yang seharusnya menjadi pelindung bagi warga transmigrasi untuk memiliki dan mengelola tanah mereka sendiri, tampaknya telah kalah dalam pertarungan melawan kepentingan investor?.
Itulah misteri yang terus menghantui Ujang dan rekan-rekannya, dan mereka hanya bisa berharap agar suatu hari nanti, keadilan akan datang bagi mereka, warga transmigrasi yang telah lama merindukan tanah yang mereka panggil rumah.
Sembari meratapi nasib mereka, mereka berdoa agar Tuhan merubah sikap para pemangku kebijakan di negara ini agar hak-hak warga kecil seperti mereka diakui sesuai dengan amanat konstitusi dan perundangan yang ada.
(red)