Jakarta – Psikolog sekaligus akademisi Tika Bisono mengatakan bahwa berdasarkan banyak penelitian terdapat korelasi antara pelaku kekerasan yang dimaksud dimaksud merupakan orang dewasa dengan minimnya pemahaman toleransi yang dimaksud digunakan ditanamkan ketika masih anak-anak.
“Latar belakang paham kekerasan adalah sifat agresif yang mana sarat pemaksaan. Sifat agresif, koersif, intimidatif, pemaksaan, merupakan elemen-elemen yang dimaksud digunakan ada pada area violence atau aksi kekerasan,” kata Tika sebagaimana rilis resmi dari Pusat Media Damai (PMD) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan seseorang yang dimaksud yang disebut jalan pikirannya sudah didominasi oleh paham kekerasan akan menolak penyelesaian hambatan atau pencapaian tujuan dengan cara yang mana mana toleran, juga juga ketika menemukan hambatan akan memaksa pihak lain untuk setuju dengannya.
“Jika dipupuk atau diberi ruang, maka yang mana dimaksud akan terjadi adalah distorsi pemahaman bahwa kekerasan itu adalah cara satu-satunya untuk mendapatkan hal yang tersebut dimaksud diinginkan,” ucapnya.
Seseorang yang tersebut agresif, lanjut dia, juga akan menganggap bahwa sifat toleransi menunjukkan kelemahan pemiliknya.
“Sebenarnya, toleransi itu menimbulkan posisi kita setara dengan orang lain. Orang yang mana digunakan agresif akan melihat bahwa untuk mendapatkan kendali, ia tak boleh setara dengan sesamanya. Posisi orang yang mana digunakan mengendalikan ada dalam area atas yang mana dikendalikan. Tentunya sangat berbahaya jika realitanya saat ini sudah banyak lembaga lembaga sekolah anak dalam tempat Indonesia yang mana digunakan justru menanamkan prinsip kekerasan serta intoleransi sedari dini,” tuturnya.
Menurut dia, mereka itu yang digunakan berpaham kekerasan sebenarnya sudah melanggar pula empat pilar kebangsaan yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI, juga Bhinneka Tunggal Ika.
“Jika ada yang dimaksud dimaksud sanggup diapresiasi pada masa pemerintahan Orde Baru, maka kita akan tertuju pada penekanan rasa nasionalisme yang dimaksud dimaksud sangat baik. Di zaman itu, pernah ada Undang-Undang Subversif yang mana digunakan membatasi ruang gerak kaum radikal. Ketegasan Pemerintah kala itu dalam menjaga keutuhan NKRI perlu diacungi jempol, bagaimanapun juga tetap ada hal yang dimaksud harus dikritisi,” ujarnya.
Tika menambahkan bahwa Pemerintah perlu melihat langsung ke sekolah-sekolah yang mana dimaksud diduga mengajarkan paham intoleransi juga kekerasan dalam rangka menemukan adanya pelanggaran kurikulum lembaga sekolah yang digunakan mana berlangsung.
“Hal yang tersebut kami khawatirkan adalah beberapa sekolah ini sudah tak menjadikan Pancasila sebagai landasan bernegaranya. Bahkan dari lembaga institusi belajar ini ada yang tersebut mana sudah mulai mengajarkan teknik bersenjata serta berperang pada anak didiknya. Materi pelajaran agama yang digunakan hal tersebut berisi kisah para nabi justru bukan diambil sifat-sifat teladan mereka, namun dibelokkan untuk membakar semangat berperang,” katanya.
Dia pun berharap semua orang tua pada area Indonesia dapat menanamkan rasa nasionalisme serta toleransi yang digunakan dimaksud tinggi kepada anak-anaknya sebab semangat kebhinekaan sedianya menjadi kekhasan Indonesia.
“Seperti di dalam tempat Singapura dan juga juga Malaysia saja, itu sangat susah sekali menyatukan etnis India, Tiongkok, serta Melayu. Mereka tak punya nilai kebangsaan yang tersebut mana bisa jadi hanya mempersatukan perbedaan etnisnya. Mereka pun iri melihat Indonesia yang mana kendati terdiri dari banyak etnis juga suku bisa jadi cuma setuju untuk bersatu lalu menggunakan bahasa yang mana sama, bahasa Indonesia. Ini jelas tidaklah akan kita temukan dimanapun kecuali cuma di dalam dalam Indonesia,” kata Tika.
Sumber: Antaranews