Morowali,—Aktivitas PT Tamaco Graha Krida di Kabupaten Morowali menjadi sorotan masyarakat sipil, terutama Eva Bande, pejuang perempuan agraria. Eva menuding perusahaan perkebunan sawit itu masih beroperasi meski izin Hak Guna Usaha (HGU)-nya telah berakhir pada Desember 2024 dan belum diperbarui.
“Praktik-praktik yang dilakukan PT Tamaco adalah bukti konkret ketidakpatuhan perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Regulasi saja mereka abaikan, apalagi hak-hak rakyat,” ujar Eva dalam pernyataannya, Selasa (28/1).
PT Tamaco Graha Krida merupakan perusahaan pertama dan tertua yang berinvestasi di sektor perkebunan sawit di Sulawesi Tengah. Perusahaan ini beroperasi di Kecamatan Witaponda, Bungku Tengah, dan Bungku Barat, Kabupaten Morowali.
Eva mengacu pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/Ka. BPN) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah. Pasal 74 ayat (2) aturan tersebut mengharuskan perpanjangan HGU diawali dengan pemeriksaan tanah oleh Panitia B, yang mencakup pengecekan kondisi fisik dan tata batas lahan.
“Jika tahapan ini tidak dilakukan, maka patut diduga ada intervensi perusahaan terhadap pemerintah, yang mencederai asas kebijakan serta partisipasi publik,” kata Eva.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menyatakan bahwa pemerintah pusat telah mencabut izin usaha empat perusahaan perkebunan dan kehutanan di wilayah itu. Di Morowali, dua perusahaan yang terkena kebijakan itu adalah PT Kawisan Sentral Asia (3.444 hektare) dan PT Tamaco Graha Krida (7.895 hektare). Pencabutan izin ini sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan.
Selain persoalan izin, PT Tamaco juga dinilai melanggar kewajiban pembangunan kebun rakyat. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 mewajibkan perusahaan yang memiliki izin usaha perkebunan dengan luas 250 hektare atau lebih untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan minimal 20 persen dari izin usaha yang dikantongi. Namun, PT Tamaco diduga mengabaikan ketentuan ini.
Di industri sawit global, standar keberlanjutan menjadi syarat utama dalam rantai pasok. Sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) mengharuskan perusahaan memastikan keberlanjutan produksi, termasuk pengentasan kemiskinan dan jaminan mata pencaharian layak bagi masyarakat sekitar. Namun, menurut Eva, PT Tamaco yang terdaftar dalam RSPO justru melakukan praktik yang bertentangan dengan prinsip keberlanjutan tersebut.
“Kami mendesak pemerintah lebih serius menindak perusahaan yang menjalankan bisnis tanpa keberlanjutan dan justru memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat,” kata Eva.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT Tamaco Graha Krida belum memberikan tanggapan terkait tudingan ini. (***)