Oleh: dr. Zainul Muhlisin, S.Ked.
Menjelang Pilkada serentak 2024, atmosfer politik di Sulawesi Tenggara kian terasa. Masyarakat mulai tertarik menelaah dinamika yang hadir seiring munculnya sejumlah bakal calon yang siap bertarung dalam Pilgub.
Di tengah hiruk-pikuk ini, kehadiran isu politik identitas menjadi sorotan, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana masyarakat Sultra akan menyikapi kontestasi ini.
Provinsi Sulawesi Tenggara, rumah bagi 2,7 juta jiwa yang terbentang di 17 kabupaten/kota, adalah mosaik kebudayaan dan etnis.
Suku-suku seperti Tolaki, Buton, Wawonii, Muna, dan Bugis hidup berdampingan, menciptakan lanskap sosial yang kaya namun juga rentan terhadap gesekan identitas.
Mengingat sejarah konflik bernuansa etnis di wilayah ini, munculnya politik identitas di tahun-tahun politik selalu membawa kekhawatiran tersendiri.
Dalam pemilu, identitas sering kali diangkat sebagai strategi politik untuk menggalang dukungan.
Primordialisme — kecintaan mendalam terhadap agama, suku, atau golongan — menjadi instrumen kekuatan yang mengakar kuat di Sultra.
Politik identitas dapat menjadi alat yang positif jika digunakan untuk merayakan keragaman dengan menghormati multikulturalisme Indonesia.
Namun, jika dijalankan tanpa kesadaran akan pluralitas bangsa, primordialisme justru berpotensi menciptakan polarisasi yang merugikan.
Kondisi ini diperburuk oleh meningkatnya penyebaran black campaign yang menargetkan pasangan calon tertentu di media sosial.
Praktik politik semacam ini berakar pada distorsi pemahaman tentang etika dalam berpolitik, di mana kualitas calon sering kali diabaikan demi fanatisme yang membabi buta.
Sentimen dan persepsi negatif terhadap kelompok lain menjadi semakin mudah tersebar, memicu gesekan sosial yang berpotensi berujung pada konflik horizontal.
Dalam menghadapi ini, peran institusi negara dan lembaga penyelenggara pemilu menjadi sangat penting.
Sosialisasi yang intensif perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana menjalankan demokrasi yang sehat, bebas dari sentimen negatif berbasis identitas. Selain itu, pengamanan ketat perlu dijalankan untuk mencegah timbulnya konflik dan memastikan pemilihan berlangsung damai.
Masyarakat harus diberikan jaminan keamanan agar dapat menyalurkan hak pilihnya dengan bebas dan tanpa tekanan, berdasarkan hati nurani.
Harapannya, Pilkada 2024 ini bisa menjadi ajang demokrasi yang bersih dan aman, di mana setiap calon dinilai berdasarkan program dan kapabilitasnya, bukan identitasnya.
Mari kita jadikan pesta demokrasi ini sebagai momen untuk mempererat persatuan, menguatkan kesadaran akan keberagaman, dan menghindari jebakan politik identitas yang memecah belah. (opini)